Renungan Hari Kemerdekaan: Pemerintah (Telah) Mandek?
Oleh Dr. Wahyu Wibowo
Menyimak pemberitaan surat kabar belakangan ini tentang kinerja
pemerintah, dan mengaitkannya dengan HUT
RI ke-66, percayalah pemerintah memang telah mandek.
Melalui pengutipan
narasumber yang boleh dianggap merepresentasikan opini orang se-Indonesia, diungkapkan
oleh surat
kabar bahwa kemandekan pemerintah karena kepemimpinan yang tidak efektif,
tersandera kasus korupsi, dan terbelenggu oleh koalisi partai politik.
Bagaimana “membaca” kemandekan pemerintah itu? Dari
perspektif etika politik, praktik kekuasaan zaman modern ditengarai selalu
diwarnai oleh tiga “bentuk kejahatan”, yakni kekerasan, politik uang, dan
korupsi. Dalam wujud dan nama yang berbeda, hakikat ketiga “bentuk kejahatan”
itu setidaknya kini sedang kita saksikan melalui surat kabar, sehingga muncul
penyimpulan bahwa pemerintah telah mandek.
Selaras dengan kenyataan hakiki perihal tiga
“bentuk kejahatan”, kita juga melihat bagaimana bangsa ini memaknai demokrasi.
Pelbagai ungkapan dan perilaku yang semula bersifat individual, dan benar-benar
dijaga oleh nilai-nilai etis kebangsaan, misalnya, tiba-tiba saja berubah total
bersifat publik. Jika terjadi kegaduhan, maka mereka yang bergaduh saling mencari
pembenaran melalui penalaran yang kontaminatif, karena mengacaukan antara
konsep nyata dan kosep formal. Itu sebabnya, bangsa ini lebih suka membuat
model demokrasi (mungkin juga model-model lainnya) dengan cara merujuk mentah-mentah
pemikiran orang Barat (konsep formal), ketimbang “menyusun” demokrasi made in sendiri (konsep nyata), padahal kita
sendiri memiliki “bahan mentah” yang melimpah-ruah. Itu pula sebabnya, jika membaca
surat kabar, kita selalu ditampilkan sebagai bangsa yang pesimistis, senang
bergaduh, tapi serakah. Penampilan ini, tentulah pantulan dari ketiga “bentuk
kejahatan” yang telah disebutkan tadi.
Model demokrasi
Ketiga “bentuk kejahatan” itu, yang memang sulit
dilepaskan dari praktik kekuasaan, menjadi niscaya jika masyarakat tidak rajin diberi
penyadaran tentang pentingnya penerapan etika politik.
Melakukan penyadaran dengan memungut begitu saja
demokrasi Barat untuk dijadikan model dalam kita berdemokrasi, agar ketiga
“bentuk kejahatan” tersebut dapat dilenyapkan, tentulah sia-sia mengingat
demokrasi adalah proses yang berkelindan dengan konteks kehidupan tiap-tiap
bangsa. Apalagi, kita juga kerap keliru dalam memahami istilah model itu
sendiri. Selama ini, model dipahami
sebagai bangunan intelektual yang menyederhanakan realitas untuk bisa dipahami.
Titik. Padahal, menurut Burke (2011), penyederhanaan realitas dalam suatu model
cenderung ditujukan dalam rangka penekanan berulang-ulang pada hal-hal umum dan
hal-hal khusus yang terdapat dalam realitas tersebut melalui sekumpulan ciri
dasar dan atribut. Itu sebabnya,
tidak dapat dikatakan “model demokrasi Amerika” atau “model demokrasi Eropa”.
Jika di dalam kedua bentuk demokrasi ini dapat ditunjukkan adanya sekumpulan
ciri dasar dan atribut yang berulang, umpamanya “kekuasaan”, “kepaduan sosial”,
dan “musyawarah-mufakat”, barulah kita dapat menyusun sebuah model demokrasi.
Hal lain yang
masih membingungkan kita adalah makna kekuasaan. Paradigma “usang” memang menegaskan
bahwa berjalannya kekuasaan disebabkan oleh hasil kekerasan, hasil persetujuan,
hasil represi, atau hasil pertarungan kekuatan, sebagaimana dapat kita baca
melalui Freud, Machiavelli, atau Marx. Padahal, dalam paradigma kritis dewasa
ini, berjalannya kekuasaan, seperti ditegaskan Foucault (2009), ternyata lebih
disebabkan oleh seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong
tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi, dan larangan.
Mungkin Foucault
benar andai pendapatnya itu dipertalikan dengan fungsi pers sebagai penyebar
pengetahuan (persuasi) yang sekaligus sebagai pemraktik kekuasaan (tindakan). Dalam
konteks pembicaraan ini, fungsi tersebut memang melekat di dalam fungsi dasar
pers sebagai penyebar informasi “terbaru” dan sebagai wadah pendidikan politik pembacanya
dalam hal berbangsa dan bernegara. Pasalnya, perubahan sikap suatu masyarakat
pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya informasi yang selalui diperbarui secera
topikal dan kontekstual, yang diterimanya melalui pers.
Fakta
membuktikan, bukankah kita bisa langsung berubah sikap, ketika mengetahui bahwa
pemerintah sudah mandek, hanya karena membaca surat kabar beberapa bulan terakhir ini.
Mencitrakan media
Pentingnya etika
politik memang tak terbantahkan andai penerapannya dipertalikan dengan praktik
komunikasi politik yang etis. Dalam kaitan ini, praktik komunikasi politik yang
etis diandaikan menemukan hakikatnya jika subjek-subjek yang memraktikkannya
memahami bahwa norma moral harus dijejakkan pada nilai-nilai luhur bangsa.
Implikasi dari
hal di atas ini, kita bisa berharap banyak pada pers untuk berperan sebagai lembaga
pemraktik komunikasi politik yang etis, ketika diandaikan lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif sudah makin kehilangan sinarnya. Apalagi, dari
perspektif kritis terlihat bahwa peran tersebut memang harus dilakukan oleh
mereka yang sadar bahasa. Dalam ungkapan lain, bahasa adalah alat pengungkap
segala realitas, yang oleh karena itu dapat digunakan di dalam jurnalistik untuk
alat pemraktik komunikasi politik yang etis.
Siapa tahu, peran
pers yang seperti itu mampu mempertebal kesadaran etika politik kita, dalam
rangka kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga ketika membaca surat kabar kita tidak
lagi melihat wajah kita yang pesimistis, senang bergaduh, tapi serakah.
Merdeka!
Bulan Puasa, 13 Agustus 2011