| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Sabtu, 13 Agustus 2011

Renungan Hari Kemerdekaan:  Pemerintah (Telah) Mandek?


Oleh Dr. Wahyu Wibowo



Menyimak pemberitaan surat kabar belakangan ini tentang kinerja pemerintah, dan mengaitkannya dengan HUT RI ke-66, percayalah pemerintah memang telah mandek.


Melalui pengutipan narasumber yang boleh dianggap merepresentasikan opini orang se-Indonesia, diungkapkan oleh surat kabar bahwa kemandekan pemerintah karena kepemimpinan yang tidak efektif, tersandera kasus korupsi, dan terbelenggu oleh koalisi partai politik.

Bagaimana “membaca” kemandekan pemerintah itu? Dari perspektif etika politik, praktik kekuasaan zaman modern ditengarai selalu diwarnai oleh tiga “bentuk kejahatan”, yakni kekerasan, politik uang, dan korupsi. Dalam wujud dan nama yang berbeda, hakikat ketiga “bentuk kejahatan” itu setidaknya kini sedang kita saksikan melalui surat kabar, sehingga muncul penyimpulan bahwa pemerintah telah mandek.

Selaras dengan kenyataan hakiki perihal tiga “bentuk kejahatan”, kita juga melihat bagaimana bangsa ini memaknai demokrasi. Pelbagai ungkapan dan perilaku yang semula bersifat individual, dan benar-benar dijaga oleh nilai-nilai etis kebangsaan, misalnya, tiba-tiba saja berubah total bersifat publik. Jika terjadi kegaduhan, maka mereka yang bergaduh saling mencari pembenaran melalui penalaran yang kontaminatif, karena mengacaukan antara konsep nyata dan kosep formal. Itu sebabnya, bangsa ini lebih suka membuat model demokrasi (mungkin juga model-model lainnya) dengan cara merujuk mentah-mentah pemikiran orang Barat (konsep formal), ketimbang “menyusun” demokrasi made in sendiri (konsep nyata), padahal kita sendiri memiliki “bahan mentah” yang melimpah-ruah. Itu pula sebabnya, jika membaca surat kabar, kita selalu ditampilkan sebagai bangsa yang pesimistis, senang bergaduh, tapi serakah. Penampilan ini, tentulah pantulan dari ketiga “bentuk kejahatan” yang telah disebutkan tadi.  

Model demokrasi
Ketiga “bentuk kejahatan” itu, yang memang sulit dilepaskan dari praktik kekuasaan, menjadi niscaya jika masyarakat tidak rajin diberi penyadaran tentang pentingnya penerapan etika politik.

Melakukan penyadaran dengan memungut begitu saja demokrasi Barat untuk dijadikan model dalam kita berdemokrasi, agar ketiga “bentuk kejahatan” tersebut dapat dilenyapkan, tentulah sia-sia mengingat demokrasi adalah proses yang berkelindan dengan konteks kehidupan tiap-tiap bangsa. Apalagi, kita juga kerap keliru dalam memahami istilah model itu sendiri.  Selama ini, model dipahami sebagai bangunan intelektual yang menyederhanakan realitas untuk bisa dipahami. Titik. Padahal, menurut Burke (2011), penyederhanaan realitas dalam suatu model cenderung ditujukan dalam rangka penekanan berulang-ulang pada hal-hal umum dan hal-hal khusus yang terdapat dalam realitas tersebut melalui sekumpulan ciri dasar dan atribut. Itu sebabnya, tidak dapat dikatakan “model demokrasi Amerika” atau “model demokrasi Eropa”. Jika di dalam kedua bentuk demokrasi ini dapat ditunjukkan adanya sekumpulan ciri dasar dan atribut yang berulang, umpamanya “kekuasaan”, “kepaduan sosial”, dan “musyawarah-mufakat”, barulah kita dapat menyusun sebuah model demokrasi.

Hal lain yang masih membingungkan kita adalah makna kekuasaan. Paradigma “usang” memang menegaskan bahwa berjalannya kekuasaan disebabkan oleh hasil kekerasan, hasil persetujuan, hasil represi, atau hasil pertarungan kekuatan, sebagaimana dapat kita baca melalui Freud, Machiavelli, atau Marx. Padahal, dalam paradigma kritis dewasa ini, berjalannya kekuasaan, seperti ditegaskan Foucault (2009), ternyata lebih disebabkan oleh seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi, dan larangan.

Mungkin Foucault benar andai pendapatnya itu dipertalikan dengan fungsi pers sebagai penyebar pengetahuan (persuasi) yang sekaligus sebagai pemraktik kekuasaan (tindakan). Dalam konteks pembicaraan ini, fungsi tersebut memang melekat di dalam fungsi dasar pers sebagai penyebar informasi “terbaru” dan sebagai wadah pendidikan politik pembacanya dalam hal berbangsa dan bernegara. Pasalnya, perubahan sikap suatu masyarakat pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya informasi yang selalui diperbarui secera topikal dan kontekstual, yang diterimanya melalui pers.

Fakta membuktikan, bukankah kita bisa langsung berubah sikap, ketika mengetahui bahwa pemerintah sudah mandek, hanya karena membaca surat kabar beberapa bulan terakhir ini.

Mencitrakan media
Pentingnya etika politik memang tak terbantahkan andai penerapannya dipertalikan dengan praktik komunikasi politik yang etis. Dalam kaitan ini, praktik komunikasi politik yang etis diandaikan menemukan hakikatnya jika subjek-subjek yang memraktikkannya memahami bahwa norma moral harus dijejakkan pada nilai-nilai luhur bangsa.

Implikasi dari hal di atas ini, kita bisa berharap banyak pada pers untuk berperan sebagai lembaga pemraktik komunikasi politik yang etis, ketika diandaikan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah makin kehilangan sinarnya. Apalagi, dari perspektif kritis terlihat bahwa peran tersebut memang harus dilakukan oleh mereka yang sadar bahasa. Dalam ungkapan lain, bahasa adalah alat pengungkap segala realitas, yang oleh karena itu dapat digunakan di dalam jurnalistik untuk alat pemraktik komunikasi politik yang etis.

Siapa tahu, peran pers yang seperti itu mampu mempertebal kesadaran etika politik kita, dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga ketika membaca surat kabar kita tidak lagi melihat wajah kita yang pesimistis, senang bergaduh, tapi serakah.

Merdeka!

Bulan Puasa, 13 Agustus 2011

Rabu, 01 Juni 2011

Menyangsikan Pancasila sebagai Ideologi Kebangsaan?


Oleh  Dr. Wahyu Wibowo
 


Ideologi memang sering kali menimbulkan masalah. Padahal, pada dasarnya ideologi adalah sistem pengetahuan dalam berbangsa dan bernegara.

 
Sudah lama para filsuf berdebat mengenai ideologi. Rata-rata mereka menggarisbawahi bahwa ideologi adalah bentuk kesadaran yang dilegitimasi dan dipercaya bersama oleh suatu masyarakat.

Studi Geuss (1990) mencatat bahwa sejauh ini perdebatan tersebut setidaknya dapat dipayungkan di bawah tiga perspektif. Yang pertama, perspektif deskriptif-antropologis yakni mereka yang beranggapan bahwa ideologi adalah konsep, ide, atau kepercayaan kelompok-kelompok masyarakat, baik yang dapat dieksplisitkan maupun yang tidak. Kalau kita pernah mendengar istilah “ideologi agama”, misalnya, maka maknanya adalah serangkaian kepercayaan nyata tentang sesuatu yang luar biasa. Yang kedua, perspektif peyoratif yaitu mereka yang berasumsi bahwa ideologi hanyalah berupa kesadaran palsu, mengingat kepercayaan-kepercayaan yang terkandung di dalamnya tidak tersedia secara empiris atau tidak dapat dilihat dan diraba. Oleh karena itu, menurut Habermas (1981), asumsi ini harus “diluruskan” secara kritis.

Agar tidak palsu, atau agar dapat disebut ideologi (dibaca: pandangan dunia), Habermas mengatakan ideologi sebagai sebuah kesadaran harus diberi sifat fungsionalnya, yakni dalam rangka mendukung, menstabilkan, atau melegitimasi macam-macam institusi atau praktik sosial tertentu. Implikasinya, boleh saja institusi atau praktik sosial itu dikritik, atau bahkan dicela, agar kesadaran palsu itu tidak lagi terwujud. Yang ketiga, perspektif positif yakni mereka yang memercayai bahwa ideologi haruslah dibentuk atau dikonstruksi, sehubungan dengan tuntutan eksistensial manusia perihal hidupnya di dunia dalam rangka meraih “kebenaran”, “kebaikan”, dan “keindahan”. Mengingat tuntutan eksistensial tersebut tidak sepenuhnya dapat “dijawab” oleh kebudayaan mereka, menjadi logis bila mereka membutuhkan ideologi. Dengan demikian, suatu kebudayaan dalam konteks ini tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai fakta yang sudah hadir pada dirinya sendiri, atau sudah tersedia begitu saja, sebab jangan-jangan itu adalah hasil konstruksi.

Dari hal di atas, mungkin kita dapat melihat Pancasila melalui ketiga perspektif tersebut. Pasalnya, bukankah secara deskriptif-antropologis kita sudah lama mengakui Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, namun terkadang kita lupa bahwa Pancasila hidup berdampingan dengan ideologi-deologi individu. Dari sudut peyoratif-fungsional, kita juga sempat merasakan bagaimana Pancasila pernah dijadikan alat kekuasaan terkait dengan tuntutan legitimasi rezim yang berkuasa, sehingga sebagai kesadaran ideologi Pancasila ketika itu berubah menjadi kesadaran palsu yang tidak berkorelasi dengan segi-segi empiriknya. Itu sebabnya, melihat sifat positifnya yang selama ini terbuka pada proses perkembangan kehidupan, agak sulit diterima akal jika ada yang berpendapat bahwa Pancasila adalah “barang antik yang mesti digosok lagi supaya berkilap”. Pendapat semacam ini, selain mempertontonkan betapa ia tidak mampu memuaskan segala kebutuhan masyarakat dan bangsa ini, juga menunjukkan betapa ia kurang piawai dalam memahami nilai-nilai Pancasila.

Dari sudut empirik, ideologi Pancasila berisikan sekumpulan nilai yang diangkat dari prinsip-prinsip nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita, yakni nilai-nilai religius, adat-istiadat, kebudayaan, dan kenegaraan. Sekumpulan nilai ini dapat disebut dalam istilah nilai kearifan, yakni konsep tentang penghargaan warga masyarakat terhadap hal-hal atau sifat-sifat yang bermanfaat dan penting bagi manusia sehubungan dengan kepandaiannya menggunakan akal budi dan pengalaman. Itu sebabnya, Pancasila bukanlah ideologi yang harus kita sangsikan.

Pancasila juga tidak mungkin dipahami hanya melalui kacamata moral belaka, karena pada hakikatnya Pancasila adalah sistem pengetahuan bagi kita dalam berbangsa dan bernegara.

Pasar Minggu, 1 Juni 2011

Minggu, 08 Mei 2011

Bahasa Indonesia: “Don’t Think, but Look”



Cara kita mencintai bahasa Indonesia selama ini ternyata aneh. Buktinya, kita masih suka meyakini bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang kita pakai sehari-hari.

Seminar berskala internasional perihal “UU Bahasa dan Implementasinya”, dalam rangka peringatan hari lahir bahasa Indonesia, yang digelar pada 4 Mei 2011 di FIB-UI Depok, mestilah diapresiasi. Sebab, jika melihat pemberitaan surat kabar, topik mengenai bahasa Indonesia kalah telak dengan topik-topik lain yang (menurut pengurus surat kabar itu) mungkin lebih layak jual. Di sisi itu, seminar tersebut juga diramaikan oleh sejumlah makalah dari para tokoh pencinta dan penggulat bahasa Indonesia, seperti Prof. Mien A. Rifai (LIPI), Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana (UI), S. Simanungkalit (wartawan Kompas), dan Riko (dosen muda pengampu mata kuliah Filsafat Bahasa dari Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional, Jakarta).

Tapi, bolehlah kita memaklumi jalan pikiran pengurus surat kabar itu. Pasalnya, cara kita mencintai bahasa Indonesia selama ini memang aneh. Cobalah perhatikan, bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa “yang lain”, yakni bukan bahasa ibu, bukan bahasa sehari-hari, bukan bahasa asing, bukan pula bahasa daerah, namun dikatakan memiliki struktur yang pasti, digunakan secara resmi sebagai media komunikasi rakyat, dan diajarkan di sekolah sebagai mata pelajaran wajib. Bahkan, kamus dan UU bahasa saling bertolak belakang dalam mendefinisikan arti bahasa Indonesia.

Cara kita yang aneh dalam mencintai bahasa Indonesia membuat bahasa Indonesia dewasa ini tidak pernah menjadi bahasa milik rakyat. Ia justru menjadi bahasa yang amat menyusahkan, bahkan lebih susah daripada bahasa Inggris. Di dalam kehidupan nyata, bukankah kita amat kesulitan menentukan apakah orang-orang yang kita jumpai itu sedang berbahasa Indonesia ataukah bahasa apa. Apalagi, sementara itu, institusi tertentu di negeri ini masih berupaya keras melancarkan gerakan “pemitosan” bahasa Indonesia. Melalui paradigma strukturalisme-monolitik, institusi tertentu itu melakukan pembakuan bahasa Indonesia dengan garis bawah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang paling unggul daripada bahasa-bahasa lain di Nusantara. Alhasil, seluruh konteks dan situasi kebahasaan di Indonesia harus bertekuk lutut pada bahasa Indonesia ragam resmi.

Akibatnya, ragam atau bentuk bahasa lainnya diposisikan secara oposisi biner, alias hitam-putih atau baik-buruk. Ragam bahasa pers, contohnya, selalu dijadikan bulan-bulanan tentang pemakaian bahasa Indonesia yang buruk. Pengkajian ragam bahasa pers oleh karena itu “wajib” dilakukan melalui perspektif linguistik yang strukturalisme-monolitik itu, misalnya hanya dengan melihat penggunaan ejaan atau pemakaian kalimatnya. Hal yang sama juga diungkapkan Riko dalam makalahnya yang disampaikan di muka seminar berskala internasional di FIB-UI tersebut. Melalui penelitiannya, Riko membuktikan bahwa ada pengkajian bahasa remaja (melalui sebuah majalah remaja) yang dilakukan pengkajinya dari sudut pandang bahasa Indonesia ragam resmi. Alhasil, pengkajian tersebut menyimpulkan bahwa bahasa remaja tidak mematuhi kaidah baku bahasa Indonesia ragam resmi. Kekeliruan paradigma semacam ini, menurut Riko, membuktikan bahwa pengkaji tersebut selain masih menggunakan paradigma linguistik strukturalisme yang monolitik, juga sekaligus menggarisbawahi ketidakpahaman pengkaji tersebut bahwa bahasa Indonesia ragam resmi tidak dapat digunakan sebagai teori untuk mengkaji ragam bahasa remaja. Dalam ungkapan lain, hemat saya, pengkajian semacam itu ibarat mengiris roti dengan gergaji (penggunaan teori yang tidak cocok).

Sementara itu, berbeda dengan Riko, S. Simanungkalit mempertanyakan mengapa banyak media massa yang masih gemar menggunakan bahasa Inggris. Pertanyaan retoris ini (karena memang tidak dijawab secara argumentatif melalui penelitian mendalam, kecuali letupan-letupan retorika yang berupa opini pribadi), menyebabkan kualitas materi pembicaraan S. Simanungkalit berkesan lebih rendah ketimbang kualitas materi pembicaraan Riko (catatan: agak disayangkan, memang, mengapa panitia menunjuk pemakalah sekelas itu – WW). Padahal, melihat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multilingual, bangsa yang mendiami lebih dari 19.000 pulau, seharusnya mudah dipahami bahwa di luar bahasa Indonesia ragam resmi terdapat pelbagai bentuk bahasa lainnya dengan ciri dan aturannya masing-masing, yang mencerminkan suatu nilai kehidupan masyarakat pemakainya.
Implikasi dari hal di atas, menjadi benar bahasa Indonesia tidak membutuhkan undang-undang. Pasalnya, tiap-tiap bahasa dalam konteks pemakaiannya pada dasarnya memiliki aturan mainnya sendiri. Oleh filsuf Wittgenstein (2007) hal ini ditegaskan bahwa tiap-tiap bahasa sehubungan dengan konteks pemakaiannya memiliki tata permainannya masing-masing. Dengan demikian, menjadi tidak patut jika melihat bahasa secara seragam hanya berdasarkan strukturnya belaka, tanpa menghargai nilai-nilai kehidupan pemakainya. Hal ini patut digarisbawahi, karena bahasa adalah pengungkap segala realitas yang lekat dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang membawa pada dirinya sendiri nilai-nilai kreativitas, etik, dan estetika. Tentu sulit membayangkan jika nilai-nilai tersebut dipagari oleh UU Bahasa. Sama sulitnya membayangkan mengapa bahasa Indonesia harus “dimitoskan”.

@@@

Upaya “pemitosan” itu sejatinya bukan hal yang baru. Pada 1582 di Italia, misalnya, Casimo berupaya keras menjaga kemurnian bahasa Italia dari pengaruh bahasa asing melalui akademi bahasa yang didirikannya. Pada 1636 di Prancis, Richelieu mendirikan Akademi Prancis dengan maksud membakukan bahasa Prancis. Pada 1901 di Indonesia, van Ophuysen menetapkan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin dengan tujuan “menggusur” bahasa Arab dari sekolah-sekolah.

Upaya “pemitosan” itu juga diabsahkan oleh pelbagai teori perencanaan bahasa. Ferguson (1998), misalnya, mengatakan bahwa perencanaan bahasa harus memfokus pada pengabjadan, pembakuan, dan pemodernan. Dalam konteks ini tampaknya bahasa Indonesia memang dijadikan “sekadar” objek perencanaan bahasa. Melalui semangat strukturalisme-monolitik, terbukti selama ini anak-anak kita diajari bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, bahasa kesatuan, dan bahasa persatuan. Padahal, ungkapan “berfungsi” itu seharusnya dibaca seperti ini: bahasa Indonesia adalah salah satu tata permainan bahasa di antara tata permainan bahasa lainnya di Nusantara. Oleh karena itu, kepada anak-anak kita itu juga harus diinformasikan bahwa bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa Indonesia ragam resmi. Dengan demikian, tidak ada kewajiban meletakkan semua konteks dan situasi kebahasaan di bawah ragam resmi bahasa Indonesia.

Semangat strukturalisme-monolitik yang telanjur mencuatkan “pemitosan” bahasa Indonesia menyebabkan anak-anak kita tercerabut dari konteks keindonesiaan mereka sehari-hari. Padahal, sebagaimana dikatakan Wittgenstein, dalam hal berbahasa kita harus berprinsip “don’t think, but look. Artinya, jangan berpikir bagaimana bahasa seharusnya dibentuk, tapi lihatlah bagaimana bahasa membentuk dirinya. Melalui prinsip kritisnya itu, Wittgenstein dicatat sebagai filsuf bahasa abad ke-20 yang mampu menggetarkan kejayaan linguistik strukturalisme. Terbukti, kelahiran fenomenologi (Husserl), teori kritis (Habermas), atau postmodernisme (Lyotard, Derrida, dan Foucault) amat kental dilandasi oleh prinsip Wittgenstein.

Dengan demikian, menjadi benar ketika Wittgenstein berkata bahwa bahasa (kata-kata dan kalimat) lebih merupakan alat yang dapat dipakai dengan banyak cara daripada sekadar mematut-matutkannya dengan teori linguistik strukturalisme. Alhasil, ungkapan “berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” memang harus segera diluruskan.

@@@

Pada galibnya, bahasa terkungkung oleh “habitus linguistik” dan “pasar linguistik”. Istilah yang dilansir oleh Bourdieu (2004) ini hendak menggarisbawahi bahwa bahasa amat dipengaruhi oleh kecenderungan budaya masyarakatnya dalam mengungkapkan segala realitas. Tapi, kecenderungan itu dipagari oleh sanksi dan sensor dari masyarakat itu sendiri sesuai dengan nilai-nilai kehidupan mereka.

Dari hal di atas, makin jelas bahwa bahasa Indonesia memang tidak memerlukan undang-undang. Jadi, mengapa kita harus mencintai bahasa Indonesia secara aneh?

Pasarminggu, 8 Mei 2011




Jumat, 22 April 2011

PROGRAM PELATIHAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH UNTUK UMUM

Penyelenggara: Jakarta for Wittgenstein Studies, FBS Unas, Jakarta.

Filosofi Pelatihan
Budaya tulis-menulis khususnya di kalangan akademisi dewasa ini makin dianggap penting dan perlu, mengingat di tengah dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini masyarakat mestilah “diguyur” terus-menerus oleh pemikiran-pemikiran segar dari kampus.

Mengingat pemikiran segar tersebut tekonteks dengan dunia akademik, maka bentuk ARTIKEL ILMIAH adalah pilihan yang tepat. Pasalnya, masih banyak di antara akademisi kita yang belum bisa membedakan antara bentuk artikel ilmiah dan artikel opini; atau membedakan bentuk artikel ilmiah dengan proposal penelitian, makalah, skripsi, atau tesis.

Dalam kaitan itulah kami menawarkan program pelatihan penulisan ARTIKEL ILMIAH, yakni bentuk suatu tulisan yang disajikan khusus untuk jurnal perguruan tinggi.


Informasi Penting
Pelatihan digelar setiap hari Senin s.d. Rabu (tiga hari) mulai pukul 17.00 WIB s.d. 21.00 WIB. Tempat pelatihan: Kampus Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional, Jakarta (atau di tempat lain sesuai dengan pembicaraan).

Materi pelatihan antara lain Kiat Menembus Jurnal Terakreditasi, Bahasa Artikel Ilmiah, Teknik Menyusun Ilustrasi untuk Jurnal, Metode dalam Artikel Ilmiah, dan Cara Mengutip untuk Menghindari Plagiarisme.

Instruktur pelatihan terdiri atas individu yang berpengalaman dalam bidangnya dan masih aktif baik sebagai jurnalis, dosen, praktisi komunikasi, maupun sebagai tim inti Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah untuk Dosen se-Indonesia (DP2M Ditjen Dikti).

Biaya pelatihan per peserta Rp 2 juta (per angkatan minimal 15 orang). Silakan klik di sini Formulir Pendaftaran untuk mengikuti pelatihan.

Pendaftaran untuk peserta angkatan ke-4 dibuka mulai tanggal 21 April 2011.

Keterangan lebih lanjut hubungi Riko (0856.9383.9323).

Minggu, 10 April 2011

Sang Briptu (yang Nyaris) Kena Sensor: Caiya, Caiya, Caiya…

Oleh Dr. Wahyu Wibowo


Rencana sanksi berupa teguran yang dijatuhkan kepada Briptu Norman, atas aksi bernyanyinya di YouTube, mengesankan bahwa semangat sensor masih “berjaya”.


Cikal-bakal sensor (pemeriksaan dan pengawasan), ditengarai berawal sejak zaman Romawi, yakni ketika Julius Caesar menjabat konsul pada 60 SM. Pada saat itu, Caesar memerintahkan para anggota senat untuk menulis aktivitasnya sehari-hari dalam acta diurna, lembaran kertas mirip brosur, dan harus ditempelkan di Pusat Kota. Anggota senat yang membangkang, sudah pasti kena sanksi.

Caesar pasti tidak pernah membayangkan bahwa idenya tentang sensor berabad-abad kemudian dijadikan “aksesori” sejumlah negara. Dikatakan aksesoris, karena tanpa lembaga sensor sebuah negara menganggap dirinya kurang lengkap. Pasalnya, pemerintah merasa diri sebagau pemegang kendali utama keselamatan bangsa dan negara. Itu sebabnya, harus dilakukan sensor terhadap film, misalnya, dengan argumentasi demi menangkal masuknya pengaruh negatif pada tata nilai dan budaya Indonesia.

Tapi, semua ihwal sensor itu tidak pernah dijelaskan dalam “bahasa sehari-hari”, kecuali penekanan bahwa penyensoran oleh pemerintah tidak melanggar konstitusi. Apa hubungan antara makna “adegan cabul” misalnya yang harus disensor dan pelanggaran konstitusi, jika sehari-hari kita dengan mudah menemukan para penjual VCD porno di kaki lima. Apa pula makna pengaruh negatif pada tata nilai dan budaya Indonesia, sementara itu kita membiarkan sejumlah produk budaya kita dicuri oleh negara tetangga.

Selama ini barangkali kita hanya berpikir secara koherensi bahwa lembaga sensor merupakan lembaga yang konsisten dalam melakukan tugasnya. Padahal, sebagaimana telah disinggung, koherensi dan konsistensi tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan kenyataan di luaran. Sebanyak film yang sudah disensor, umpamanya, sebanyak itu pula pengaruh negatif pada tata nilai dan budaya Indonesia tetap merasuk

Artinya, sekarang kita tidak lagi bisa berpendapat bahwa sensor yang dilembagakan berdaya guna menjadi “pengaman” tata nilai dan budaya Indonesia, mengingat tata nilai dan budaya adalah sebuah proses dialektika antarindividu di dalam masyarakat. Apalagi, bukankah kini kita telah mampu melakukan sensor sendiri, misalnya kita bebas memilih tontonan yang kita sukai, terutama ketika rata-rata bioskop dan televisi kita menayangkan film yang bertema seragam alias itu-itu saja.

Dari hal di atas, menjadi jelas bahwa sensor justru sudah tersebar dan terlembaga di dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini menandakan bahwa manusia memang bersifat unik dan oleh karena itu kehidupannya pun amat plural dan kontekstual.

Bukan kelas warung kopi

ANDAI sensor sudah tersebar dan terlembaga di dalam masyarakat, pertanyaan kritisnya mengapa aktivitas bernyanyi Briptu Norman di YouTube (rencananya) harus berbuah sanksi peneguran? Tayangan yang menghibur ini memang tidak kena sensor dari YouTube. Justru, sang Briptu itu sendiri yang kena sensor komandannya.

Dari perspektif etika, kita memang tidak pernah tahu apakah kode etik di kesatuan sang Briptu itu ada pelarangan bernyanyi bagi anggotanya, terutama berseragam dinas dan sambil bertugas. Suatu kode etik, sebagaimana telah diketahui, hanya berlaku bagi suatu komunitas. Kode etik disusun sehubungan dengan pencegahan tindakan tidak terpuji terhadap orang lain di luar komunitas tersebut. Melarang wartawan menulis berita yang sensasional, misalnya, itu adalah tuntutan kode etik jurnalistik demi mencegah kerugian terhadap orang lain yang bukan wartawan, baik itu narasumbernya maupun khalayak pembacanya.

Jadi, andai ingin terus direnungi, bagaimana dengan polisi yang bernyanyi di atas mobil terbuka di tengah jalan pada pagi hari ketika orang sedang berangkat bekerja. Bagaimana pula dengan polisi yang mengikuti lomba menyanyi di televisi atau polisi yang senang mengutak-atik telepon genggamnya di tepi jalan? Apakah karena sang Briptu tidak meminta izin terlebih dahulu untuk menayangkan aksi bernyanyinya di YouTube, lantas mesti "disensor" komandannya?

Saya meyakini Briptu Norman adalah juga manusia biasa. Menurut filsuf Ricoeur (1981), eksistensi manusia ditandai oleh unsur resiproritas di dalam dirinya yang bercampur-baur dengan motif, kehendak, dan ketaksengajaan. Wujudnya, seperti contoh Briptu Norman, muncullah “kemampuan” berjoget, bernyanyi India, dan menayangkannya di You Tube, tanpa harus mengaitkannya dengan seragam dinas dan tugasnya.

Itu sebabnya, cobalah memandang “kelakuan” sang Briptu itu dari paradigma kritis. Artinya, kekuasaan tidak lagi sekadar penyatuan yang dipaksakan oleh suatu lembaga. Hal ini mengindikasikah bahwa munculnya tegangan di dalam hubungan antara kekuasaan dan subjek-subjek, menurut Foucault (2004), mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar. Kekuasaan tidak lagi berarti penekanan oleh satu pihak/lembaga, mengingat kekuasaan berkelindan dengan proses ekonomi, politik, dan budaya.

Caesar pasti tidak pernah membayangkan bahwa idenya tentang sensor masih dijadikan “aksesori sensor” oleh kita dalam menilai sesuatu yang menurut kita tidak pantas. Padahal, pantas dan tidak pantasnya sesuatu harus dapat dijelaskan melalui pertimbangan etis yang bukan sekadar “menurut kita”. Andai cara menilai ini belum menjadi kesadaran etis kita, maka yang muncul adalah pertimbangan yang kelasnya terkategori obrolan warung kopi belaka, dan bukan pertimbangan kelas akademik.

Itu sebabnya, kita pun harus buru-buru “menyensor diri” bahwa semangat sensor yang berapi-api sama sekali tidak bertalian dengan jabatan apalagi serta-merta bertalian dengan konstitusi. Buktinya, Briptu Norman dapat tetap melantunkan suara emasnya, wajahnya muncul di TV, dan namanya diramaikan media massa cetak. “Caiya, caiya, caiya…”

Depok, 10 April 2011

Rabu, 06 April 2011

Plagiarisme Global?

Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Tulisan Alois A Nugroho perihal skandal plagiarisme global (Kompas, 12/03/11) memang mengundang keprihatinan, khususnya bagi insan akademik Indonesia yang serius, jujur, dan “berdarah-darah” dalam menempuh studi doktoralnya.


Plagiarisme yang mengurapi disertasi Menhan Jerman Guttenberg dan disertasi putera Khadafy Saif al-Islam di Inggris, agaknya cukup membawa keyakinan Nugroho bahwa plagiarisme ternyata tidak hanya terjadi di negara dengan tradisi akademik yang belum kukuh, tetapi kini juga melanda Jerman dan Inggrs.

Akan tetapi, setidaknya kita memang perlu berhati-hati dalam membincangkan plagiarisme, mengingat kasus plagiarisme di Indonesia muncul dalam wajah yang kontekstual.

Pertama, kita kerap tidak memahami bahwa ilmu tidak seta-merta jatuh dari langit. Padahal, kehadiran sebuah teori, misalnya, selalu diiringi oleh anasir-anasir ontologi, epistemologi, dan aksiologinya. Itu sebabnya, tidak sedikit dosen S-3 kita yang memberikan ilmunya hanya melalui “metode pencekokan”. Mahasiswa hanya diperintah membaca buku teks (lalu diwajibkan menulis laporan bacaan dan sedikit diskusi), tanpa sang dosen itu menguraikan “kata kunci” (segi-segi episteme) teori tersebut. Alhasil, banyak mahasiswa S-3 kita yang kesulitan dalam menangkap hakikat teori yang dibacanya, sehingga ketika mengutip ia kesulitan mengungkapkan dalam kalimatnya sendiri. Dampaknya, dengan serta-merta si mahasiswa S-3 itu mengutip secara mentah, sesuai dengan teks aslinya, walaupun ia menyebutkan sumbernya. Hal ini disebut plagiarisme yang tidak disengaja.

Kedua, kita juga kerap tidak memahami bahwa plagiarisme pada hakikatnya akan menggemboskan semangat berinovasi dalam kerja ilmiah. Oleh karena itu, jika ada mahasiswa S-3 kita yang mengakui karya kelompok sebagai karya pribadi (misalnya melalui pemanfaatan ghost writer), apalagi data di dalam karya tersebut merupakan data yang dipalsukan (fabrication) atau data yang dimanipulasikan (falsification), terang bagi kita ia melakukan plagiarisme yang disengaja. Praktik “jalan pintas” semacam ini jelas-jelas akan memerosotkan kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan.

@@@

Dari hal di atas, kiranya kita boleh memercayai pendapat Wittgenstein (1979) bahwa sebuah proposisi akan dikatakan negatif jika bendanya tidak muncul. Ricoeur ketika memberi catatan tentang pemikiran Heidegger (1981) juga mengatakan hal yang mirip bahwa suatu objek dianggap ”mengada” bila objek itu hadir.

Artinya, ”kata kunci” suatu teori dalam buku teks akan ”muncul” atau ”mengada” bila dihadirkan oleh dosennya. Dengan begitu, kekritisan mahasiswanya akan terpicu melalui banyak-banyak membaca dan banyak-banyak membandingkannya dengan bacaan terkait, sehingga ia mampu membuat konstruksi teori tersebut melalui kalimatnya sendiri. Sebaliknya, jika si mahasiswa terkategori orang supersibuk, sehingga lebih memercayai sepasukan ghost writer, boleh ditegaskan ia hanya akan menemukan ”kata kunci” yang negatif, sebagaimana dikatakan Wittgenstein tadi, walaupun ia diberi kecerdasan luar biasa. Hal ini, dapat kita buktikan apakah karya-karya tulis akademiknya kelak akan ”mengada” setelah ia menyandang gelar S-3.

Perlu dikemukakan, plagiarisme ternyata ditemukan pula di AS. Penelitian National Academy of Science pada 1995, misalnya, di antaranya menyebutkan bahwa 1,4% dari 3247 ilmuwan AS melakukan pencurian ide orang lain. Artinya, plagiarisme tidak dapat dikesankan seolah hanya terjadi di negara yang tradisi akademiknya belum kukuh, dan kemudian kita terkaget-kaget ketika melihat di negara maju juga terjadi plagiarisme.

Oleh karena itu, sebaiknya diri kita sendirilah yang mulai menyadari bahwa belum tentu orang yang bergelar S-3 otomatis akan naik gengsi, terutama jika menjadi pejabat pemerintah. Yang penting adalah karya-karya tulis akademiknya.

Pasarminggu, 5 April 2011

Selasa, 05 April 2011

Catatan dari “Kisah” Roy Suryo: Lalat yang Tersesat dalam Botol

Oleh Dr. Wahyu Wibowo


Kisah “rebutan kursi” antara Roy Suryo dan penumpang Lion Air lainnya (26/3/11), setidaknya menambah keprihatinan saya bahwa kita memang “tak berdaya” dalam berbahasa.


TERNYATA masih banyak di antara kita yang beranggapan bahwa bahasa adalah sekadar alat berkomunikasi. Itu sebabnya, tidak jarang bahasa hanya direduksi sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.

Ketika petugas penerbangan meminta Roy Suryo meninggalkan pesawat, akibat salah naik, Suryo pun menggertak, “Bapak tahu siapa saya? Cek dong siapa saya!” (Yahoo! News, 30/3/11). Konon, petugas itu terkejut dan terdiam. Sikap terkejut dan terdiam seperti ini, menurut filsuf Wittgenstein (2003), membuktikan bahasa memang sebuah pesona tentang kecerdasan manusia, yang oleh karena itu “wajib” diperangi. Dengan memerangi pesona bahasa, yang notabene “memerangi” kecerdasan manusia penggunanya, suatu bahasa akan datang kepada kita dalam wujudnya yang komunikatif, kontekstual, dan wajar.

Menjadi wajar, berbahasa (dibaca: berkomunikasi) harus lekas-lekas dimaknai sebagai segala daya-upaya kita dalam memaknai realitas. Berbahasa, oleh karena itu, tidak lagi dapat dikaitkan secara serta-merta dengan masalah linguistik (yang memang kerap memesona itu), seperti yang masih diyakini orang hingga kini. Tanpa memahami hal ini, kita akan “tersesat” di hutan rimba kata-kata, sehingga dalam berkomunikasi kita kesulitan membedakan mana jenis komunikasi warung kopi dan mana jenis komunikasi masyarakat beradab.

Berpijak dari pendapat Wittgenstein, mereka yang sengaja mencampuradukkan antara komunikasi warung kopi dan komunikasi masyarakat beradab, apalagi dalam rangka mencapai tujuan politik, ibarat lalat yang tersesat dalam botol. Berputar-putar hanya di situ, seolah-olah sudah menemukan kebenaran.


Ideologi dan bahasa

POLITIK pasti berkelindan dengan kekuasaan. Penggalangan kekuasaan dan penegakan terhadap keyakinan politik selalu dilakukan dengan pelbagai cara, yang salah satu di antaranya dengan membujuk orang agar patuh.

Dengan membujuk orang lain agar sepakat dengan tujuan politiknya, seseorang atau sekelompok orang pasti membutuhkan ideologi, yakni keyakinan-keyakinan yang bagi penganutnya dirasakan logis dan wajar. Ideologi membutuhkan bahasa, sebab bahasa, sebagaimana dinyatakan Wittgenstein, harus tampil secara komunikatif, kontekstual, dan wajar. Itu sebabnya, mempertanyakan kewajaran ideologi di dalam suatu budaya, selain sulit juga membutuhkan aktivitas intelektual yang terstruktur dan terukur, yang sama sekali bukan sekadar obrolan di warung kopi.

Itu pula sebabnya, bahasa politik Roy Suryo dijadikan konsumsi media massa, sebab terkesan ia ingin mengubah ideologi sang petugas penerbangan. Kita paham benar, terdapat suatu pola budaya di dalam suatu institusi bisnis yang berpangkal dari suatu ideologi yang dianut oleh orang-orang di dalam institusi tersebut.

Tapi, mengapa Roy Suryo gagal? Terbukti, menurut berita, ia lantas menuruti perintah petugas untuk meninggalkan pesawat. Apalagi, penumpang lain di dalam pesawat juga turut “mengusir” Roy Suryo. Dalam hal ini, Wittgenstein pernah mengingatkan bahwa di dalam kehidupan ini banyak sekali tata permainan bahasa (language-games), yang mengindikasikan bahwa tiap-tiap tata permainan bahasa memiliki “lapangan bermain“-nya sendiri.

Artinya, suatu masyarakat memiliki tata permainan bahasanya sendiri, yang terkonteks dengan nilai-nilai kehidupan mereka, yang oleh karena itu membedakannya dengan tata permainan bahasa suatu masyarakat lainnya. Ketika Roy Suryo mencoba “memengaruhi“ petugas penerbangan dengan bahasa politiknya, ia terlena bahwa bahasanya itu tidak bisa lagi “dimainkan“ di lapangan lain, terutama karena “bahasa lama“ (zaman Orba ketika bahasa adalah fatwa) sudah berbeda dengan “bahasa baru“ (zaman Reformas ketika bahasa adalah kebebasan).

Hal di atas ini kiranya dapat dianalogikan dengan bahasa politik yang menghiasi kebijakan pemerintah. Ketika dinyatakan “pemerintah akan mematangkan desain pembangunan terminal peti kemas tambahan di Tanjung Priok“ (Kompas, 29/3/11; h.17), misalnya, jelas bahwa pemerintah ingin melogiskan dan mewajarkan kepada masyarakat bahwa desain itu memang belum pernah dimatangkan. Padahal, kelogisan dan kewajaran itu tentu memiliki konteks dan nilainya sendiri ketika dikaitkan dengan tata permainan bahasa masyarakat kebanyakan. Belum tentu semua orang setuju dengan kebijakan itu.

Bentrok antara satu tata permainan bahasa dan lainnya membuktikan betapa keras tarik-menarik kekuasaan di antara pihak-pihak yang sedang berkomunikasi. Hal ini, menurut Ricouer (2006) disebut filsafat kehendak, karena bertalian dengan adanya afeksi dan kehendak dalam eksistensi manusia. Artinya, pihak-pihak yang sedang berkomunikasi itu selalu membawa motif, kebutuhan, keinginan, dan kesenangan dalam rangka memenangkan wacana.

Yang jelas, janganlah seperti lalat yang terperangkap dalam botol.

Depok, April 2011